Belajar dari Pendiri Sampoerna, Tak Sekolah Sukses Bisnis!

Belajar dari Pendiri Sampoerna, Tak Sekolah Sukses Bisnis!

Read Time:3 Minute, 30 Second

Jakarta, CNBC Indonesia – Berikut adalah kisah masa muda Liem Seeng Tee, pendiri perusahaan rokok Sampoerna sekaligus raja rokok RI. Sejak kecil, Liem hidup dengan penderitaan. Dimulai dari meninggalnya Sang Ibu, terusir dari tanah kelahiran, terpisah dengan saudaranya, menjadi yatim piatu, hingga hidup sebatang kara. Saat anak kecil seusianya hidup dalam dekapan hangat keluarga, Liem tidak pernah merasakannya. Begitu pula ketika yang lain pergi sekolah, dia juga tidak demikian. 

Kendati demikian, hidup tak seperti anak lain pada akhirnya membentuk jati diri Liem yang sebenarnya. Bagaimana ceritanya?

Terusir dari China

Gonjang-ganjing di Fujian, China membuat seorang ayah dan dua anaknya, putra-putri, terpaksa angkat kaki pada 1898. Sang Ayah, Liem Tioe, turun dari pegunungan membawa kedua anaknya untuk bergegas membeli tiket kapal layar yang hendak ke Selatan meski tidak tahu tujuan pastinya. Liem Tioe memasrahkan sepenuhnya perjalanan kepada nakhoda. 


ADVERTISEMENT


SCROLL TO RESUME CONTENT

Setelah berhari-hari melintasi ganasnya ombak Samudera Hindia, kapal akhirnya tiba di pendaratan pertama, yakni Malaya. Di tanah jajahan Inggris ini, Liem Tioe kaget bukan kepalang.

Tanah Malaya rupanya sangat tidak aman untuk bisa dijadikan tempat tinggal. Perkelahian dan aksi kejahatan ada dimana-mana. Alhasil, dia ingin keluar dari situ dengan membeli tiket kapal menuju Tanjung Perak, Surabaya.

Sayang, ada perpisahan di perjalanan kali ini. Tiket kapal yang dibeli rupanya hanya bisa untuk dua orang. Liem Tioe tidak punya uang lagi untuk membeli selembar tiket. Artinya, dari rombongan Liem Tioe ada satu orang yang ditinggal.

Di tengah kebimbangan ini, ada seorang keluarga China di Singapura yang ingin mengangkat putri Liem menjadi anak. Tentu, dengan berbagai alasan terutama faktor ekonomi, Liem Tioe merelakan dan terpaksa berpisah dengan anak perempuan satu-satunya itu hingga benar-benar lost contact (Gatra, “Seabad Babad Nusantara”, 2000). 

Kini, hanya tersisa Liem Tioe dan anak laki-laki yang bernama Liem Seeng Tee (5 tahun). Mereka berdua kemudian melanjutkan perjalanan hingga kapal berlabuh di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Di sinilah, keduanya memulai hidup baru. Namun, ketika baru mulai merintis hidup bencana tiba-tiba datang.

Wabah kolera dan malaria menginfeksi tubuh Liem Tioe. Dia sakit parah hingga akhirnya meninggal dunia tepat di tahun 1898, enam bulan usai tiba di Surabaya. Peristiwa ini jelas pukulan telak bagi Seeng Tee.

Penderitaannya lengkap. Di usia belum genap 6 tahun, saat seharusnya mendapat asuhan baik keluarga, dia malah sudah harus berpisah dengan ayah, ibu, dan saudara perempuan untuk selama-lamanya. Beruntung, sebelum meninggal Liem Tioe sudah menitipkan Seeng Tee kepada keluarga Cina di Bojonegoro. Di keluarga baru inilah, derai air mata Seeng Tee mulai hilang.

Sebagaimana dipaparkan buku The Sampoerna Legacy (2017), Seeng Tee banyak belajar di keluarga baru. Mulai dari berbicara, berjalan, berbahasa Mandarin, dan yang terpenting belajar bisnis.

Apabila anak seusianya mulai bersekolah formal, Seeng Tee tidak melakukan itu dan justru diarahkan bapak angkatnya berbisnis. Kebetulan, bapak angkatnya memproduksi dan jualan kecap asin. Baginya, bisnis adalah satu-satunya cara untuk memperbaiki hidup. Dan ini benar-benar terpendam di benak Seeng Tee.

Alhasil, tepat di usia 7 tahun, dia meminta izin merantau ke Surabaya untuk mempertaruhkan hidup dengan bekerja di restoran kecil. Tak diketahui pasti apa pekerjaannya, yang pasti menurut majalah Gatra (2000), dia bekerja selama 18 bulan tanpa libur satu hari pun.

Dia tumbuh besar di restoran kecil itu dan paham bahwa untuk mendapat sesuatu harus bekerja keras. Hingga akhirnya, pergulatan hidupnya berbuah manis: dia bisa membeli sepeda bekas. Lewat sepeda bekas itulah dia memulai perjalanan baru dengan berjualan arang keliling Surabaya.

Tak lama berselang, Seeng Tee meluaskan wilayah penjualannya. Tak tanggung-tanggung, di usia belum genap 10 tahun, dia nekat berjualan hingga 700 km. Tepatnya hingga Batavia (Jakarta).

Dia melakukan perdagangan di kereta Batavia-Surabaya. Selama berjam-jam perjalanan, dia menyusuri setiap gerbong untuk menawari penumpang roti yang dijual. Perut manusia yang mudah lapar, jelas membuat bisnis Seeng Tee manjur. Dia bisa cuan banyak dari sekali perjalanan kereta. 

Pada akhirnya, hidup pahit saat masa kecil dan tempaan keras atas pengalaman bisnis di lapangan membuat berdampak besar pada diri Seeng Tee. Meski tak mendapatkan pendidikan formal di sekolah, dia bisa tampil sebagai pribadi yang tangguh dan matang di usia yang masih sangat muda.

[Gambas:Video CNBC]


Artikel Selanjutnya


Dorong Pengembangan UMKM, Sampoerna Luncurkan Program UUI


(mfa/mfa)

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %
Apple Q2 revenues shrink, but services now boast over 1 billion subscriptions Previous post Apple Q2 revenues shrink, but services now boast over 1 billion subscriptions
OnePlus Ace 2 Pro 150W charging confirmed in leaked promo leaflet Next post OnePlus Ace 2 Pro 150W charging confirmed in leaked promo leaflet