Saat 'Kiamat' Tiba, Peluang Orang Kaya Selamat Makin Besar

Saat ‘Kiamat’ Tiba, Peluang Orang Kaya Selamat Makin Besar

Read Time:4 Minute, 57 Second

Jakarta, CNBC Indonesia – Kondisi bumi di 2154 Masehi semakin tidak karuan. Panas matahari menyengat tanah dalam tingkat radiasi supertinggi. Planet begitu padat hingga bahan pangan tidak cukup untuk mengenyangkan setiap mulut. 

Pada saat bersamaan, wabah penyakit bermunculan disertai kelangkaan dan kemahalan sarana medis. Akibatnya, kerusuhan, penjarahan dan pemerintahan yang kolaps terjadi di mana-mana dan menjadi suatu hal lumrah.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO RESUME CONTENT

Sayang, penderitaan ini hanya dialami separuh pemukim bumi. Sialnya, mereka yang masuk dalam kategori sengsara ini adalah mereka yang terlahir miskin, tak peduli ia orang udik atau anak kota.

Separuh pemukim lain, yang berkantong tebal, memilih pindah ke luar angkasa. Mereka tinggal di sebuah stasiun luar angkasa bernama Elysium.

Seperti Anda duga, Elysium adalah serambi nirwana. Orang-orang kaya hidup mewah dan bahagia. Tak ada istilah sakit, sebab teknologi robot tabib segala penyakit tersedia setiap waktu. Mereka sesekali mampir ke bumi hanya untuk memantau bisnis, sambil melihat‐lihat kesengsaraan dan menggelengkan kepala pada kaum nelangsa.

Demikianlah gambaran ketimpangan mahadahsyat yang berhasil disajikan Neill Blomkamp dalam film Elysium (2013). Berkisah tentang kehidupan kaum jetset yang bisa mangkir berkelit dari kehancuran dunia dengan hidup di antariksa.

Sayangnya, sekalipun fiktif dan imajiner, gambaran itu bukan sebuah kemustahilan. Sebab bisnis roket swasta yang mulai dirintis beberapa tahun belakangan, menjadikan premis hidup di antariksa kini bukan suatu angan-angan.

Orang Kaya Bisnis Roket

Selama Perang Dingin (1947-1991) misi eksplorasi luar angkasa hanya dilakukan oleh negara-negara tertentu saja. Entah itu Amerika Serikat dan sekutunya. Atau Uni Soviet dan konco-konconya.

Alasannya tentu saja didasari oleh biaya yang mahal. Untuk memulai misi luar angkasa dibutuhkan uang jutaan dollar. Swasta tak mungkin punya uang sebanyak itu. Sekalipun memang ada, tak bakal dipakai buat hal yang tidak mengundang cuan.

Alhasil, hanya negara-lah yang bisa menjalankannya dengan tujuan pertahanan dan ilmu pengetahuan. Negara selalu tampil dominan. Sedangkan swasta sebatas pendukung. Meski begitu, memasuki tahun 2000, dominasi negara atas luar angkasa mulai berubah. 

Menurut Tim Fernholz dalam Rocket Billionaires (2018), perubahan ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, demokratisasi pengetahuan dan teknologi luar angkasa. Kedua, kekecewaan sebagian masyarakat terhadap NASA yang mulai menutup mimpi manusia untuk tinggal di luar angkasa.

Beranjak dari sini, para orang kaya pemodal besar mulai terjun bisnis roket. Mereka menarik para ilmuwan dan membuat roket sendiri yang jauh lebih murah dibanding buatan negara. 

Dalam situs Space diketahui upaya swasta tak dilarang negara, dalam hal ini pemerintah AS. Malahan, NASA berani mengeluarkan uang sebesar US$ 50 juta untuk lima perusahaan penerbangan swasta, salah satunya Boeing.

Lewat kerjasama dan dukungan inilah lambat laun dominasi negara luntur dan peran swasta menguat. 

Salah satu pengusaha awal yang ‘turun gunung’ bisnis ini adalah Elon Musk. Seperti diuraikan Tim Fernholz, keputusan mendirikan bisnis roket didasari oleh ketakutan Musk sendiri terhadap kehancuran bumi.

Sekitar tahun 2002, dia sempat berkhayal apabila bumi mengalami kehancuran entah apapun bentuknya, manusia bisa pergi ke planet lain. Alhasil, dia secara resmi mendirikan perusahaan luar angkasa SpaceX di tahun yang sama. 

Dalam paparan Insider, ketakutan ini kemudian memunculkan keberanian untuk merogoh kocek sebesar US$ 100 Juta supaya mimpinya itu bisa terwujud, khususnya soal mengkolonisasi Mars pada 2033 nanti. 

Pada akhirnya, keputusan Musk mendirikan perusahaan luar angkasa swasta mengilhami orang kaya lain, seperti Jeff Bezos (Blue Origin) dan Richard Branson (Virgin Galactic).

Menurut Christian Davenport dalam The Space Barons: Elon Musk, Jeff Bezos, and the Quest to Colonize the Cosmos (2018), kehadiran itu membuat manusia menyaksikan era perlombaan luar angkasa babak ke-2. Dari yang sebelumnya dilakukan AS-Soviet, kini terjadi pada ketiga perusahaan swasta itu.

Tentu dengan motif persaingan, perkembangan teknologi lebih cepat. Alhasil, seluruh perusahaan itu sukses meluncurkan roket-roketnya sendiri dalam waktu singkat. Tentu, peluncuran itu dibarengi juga oleh cuan yang melimpah. 

Hingga akhirnya puncak dari itu semua terjadi pada 2018.




Foto: Vanity Fair
Roket Virgin Galactic milik pengusaha Richard Branson



Kapitalisme Luar Angkasa

Tepat pada 6 Februari 2018, perusahaan SpaceX milik triliuner Elon Musk sukses meluncurkan roket Falcon Heavy. Menurut Victor L. Shammas dan Tomas B. Holen dalam “One Giant Leap for Capitalistkind: Private Enterprise in Outer Space” (Nature, 2019), kesuksesan ini menandai awal mula berkuasanya perusahaan swasta di luar angkasa. 

Pada titik ini, mimpi-mimpi manusia untuk berwisata di luar angkasa, menambang asteroid, dan mengkolonisasi mars semakin dapat dicapai. Era inilah yang disebut Shamas dan Holen sebagai NewSpace.

Masalahnya, sebagaimana ditulis Jess Zimmerman di The Guardian, para pengusaha teknologi luar angkasa tak hanya mengembangkan roket untuk hiburan dan ambisi pribadi. Jelas, mereka mendirikan atau berinvestasi di misi luar angkasa dengan tujuan membawa manusia-manusia lain keluar dari bumi, dengan syarat dan ketentuan berlaku.

Syarat itu tentu tak ribet. Seseorang hanya perlu memiliki uang berlebih. Sebab, mengacu pada paparan New York Times, untuk bisa menaiki roket SpaceX saja diperlukan uang US$ 55 Juta. Sedangkan Virgin Galactic sebesar US$ 250 ribu dan Blue Origins sebesar US$ 28 juta.

Dengan besarnya kisaran uang tersebut, maka wajar apabila hanya orang berduit saja yang mampu, yang menurut Credit Suisse (2022) berjumlah 5,2 juta orang di seluruh dunia. Pada titik inilah, Shammans dan Holen dalam “One Giant Leap for Capitalistkind” (2019), menyebut mulai muncul kapitalisme berbahaya di luar angkasa.

Para pengusaha yang melihat luar angkasa sebagai bahan “obralan” membuat jurang si kaya dan si miskin semakin lebar. Sebab, hasil dari upaya eksplorasi, eksploitasi dan kolonisasi ruang angkasa bukan lagi menjadi milik seluruh manusia.

Melainkan sudah dikuasai oleh kaum kapitalis yang seakan-akan mewakili umat manusia padahal itu hanya omong kosong.  

“Dengan masuknya era NewSpace, masa depan umat manusia di luar angkasa tidak akan menjadi milik kita (red: manusia), yang menguntungkan seluruh umat. Melainkan akan menjadi hasil dari kapitalis tertentu,” tulis Shammans dan Holen.

Atas dasar inilah, apa yang dikisahkan Elysium (2013) bisa saja menjadi kenyataan. Di masa depan bukan tidak mungkin manusia miskin di bumi akan benar-benar hidup sengsara, sembari melihat para orang kaya hidup enak di stasiun luar angkasa karena punya uang banyak untuk pergi ke sana.

[Gambas:Video CNBC]

(mfa/sef)

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %
Honor X40 GT Racing Edition is coming on September 21 Previous post Honor X40 GT Racing Edition is coming on September 21
iPhone 16 Pro rumored to gain tetraprism periscope next year Next post iPhone 16 Pro rumored to gain tetraprism periscope next year