
Terungkap! ‘Banteng Merah’ Bukan dari RI, Ternyata Negara Ini
Jakarta, CNBC Indonesia – Seperti halnya Indonesia, tahun 1970-an merupakan masa emas bagi Thailand. Selama periode ini, Negeri Putih Gajah sedang menikmati pertumbuhan negara yang pesat.
Berbagai proyek dilaksanakan secara masif dan skala besar. Tulang punggung pembangunan proyek adalah kuli alias buruh kasar.
Tanpa keringat, tidak ada bangunan yang berdiri tegak di atas tanah. Jadi, banyak perhatian khusus yang diberikan kepada para kuli.
IKLAN
GULIR UNTUK MELANJUTKAN KONTEN
Salah satunya datang dari seorang apoteker, Chaleo Yoovidhya. Sekitar tahun 1976, Chaleo menciptakan ramuan minuman yang dicampur dengan kelebihan gula dan kafein.
Setiap orang yang meminumnya, pasti energinya akan datang bertubi-tubi. Bahkan, bisa mengusir rasa lelah, kantuk, dan membuat seseorang lebih fokus.
Minuman tersebut kemudian diberi nama Kratingdaeng. Bagi pekerja yang tidak terampil, minuman ini cocok untuk pekerjaan yang membutuhkan banyak aktivitas fisik.
Alhasil, dalam sekejap Kratingdaeng menjadi sangat populer. Karena bisa menemani mereka dalam mendongkrak aktivitas.
Mengutip Red Bull secara Singkat, popularitas besar minuman dengan gambar “banteng merah” menarik perhatian seorang Austria, Dietrich Mateschitz. Pada 1980-an, dia pertama kali datang ke Bangkok untuk bekerja, menempuh perjalanan udara selama 13 jam.
Untuk menghilangkan jet lag, penjualan perusahaan deterjen berani meminum minuman berenergi. Tanpa diduga, jet lag-nya hilang dan dia bisa bersemangat seperti biasanya.
Dari sini, Mateschitz punya ide bisnis yang menarik. Ia ingin Kratingdaeng mendunia dan tidak hanya dijual di Thailand.
Singkat cerita, ide tersebut baru terealisasi pada 1 April 1987. Dengan izin Chaleo, Mateschitz memberanikan diri untuk menjual minuman berenergi tersebut secara global dengan target pasar pertama adalah penduduk Austria.
Nama minumannya adalah Red Bull. Namun, tidak mudah bagi Mateschitz untuk menjual Red Bull di Austria.
Jika di Thailand target marketnya adalah unskilled worker, maka hal ini tidak berlaku di Austria yang minim pekerja unskilled. Alhasil, Mateschitz nekat menawarkan Red Bull kepada pekerja kerah biru dan memajangnya di etalase tempat wisata dengan harga super mahal.
Menurut Reinhard Kunz dalam Sport-Related Branded Entertainment: The Red Bull Phenomenon (2016), keputusan menjual Red Bill di luar target pasar awal dan dengan harga tinggi bertujuan untuk membentuk target pasar baru. Mateschitz meyakini jika hal tersebut dilakukan, maka akan terbentuk komunitas pecinta Red Bull, sehingga akan terbentuk kesan eksklusif.
Tak hanya mengubah target pasar, kesuksesan Red Bull juga terjadi berkat usahanya turun gunung dalam sponsorship olahraga Formula 1. Dalam ajang balap ekstrim ini, perusahaan bertekad mensponsori ratusan atlet dan membentuk tim balap sendiri.
Mateschitz diketahui telah membeli tim Jaguar Ford dan mengubahnya menjadi Red Bull Racing, tim yang sejak itu mendominasi F1 bersama Mercedes selama lebih dari satu dekade. Dari sini, enam gelar juara dunia pembalap diraih Red Bull bersama Sebastian Vettel dan Max Verstappen.
Tentu saja, tujuan turun gunung tidak hanya untuk diketahui oleh para pecinta F1 di seluruh dunia, tetapi juga untuk dapat membuktikan bahwa produk tersebut benar-benar bermanfaat. Dengan logo banteng merah yang menunjukkan kekuatan, Red Bull ingin pelanggannya menjadi seperti banteng dan atlet olahraga ekstrim: kuat dan bertenaga.
Pada akhirnya, meski membutuhkan biaya, langkah ini berhasil membuat perusahaan meraup untung besar. Cuplikan terus-menerus yang menyoroti logo Red Bull di pesawat dan televisi membuat minuman tersebut laris di pasaran.
Padahal, pada 2022, Red Bull sukses menjual 11,583 miliar kaleng. Berkat kesuksesan bisnis Red Bull, sebelum meninggal pada 2022, Mateschitz tercatat memiliki kekayaan US$27,4 miliar atau Rp. 200 triliun.
[Gambas:Video CNBC]
Artikel Berikutnya
Untuk Pertama Kalinya, Metode English Agile Education Kini Hadir di RI
(mfa/sef)