Wahai Manusia, Kurangi Beli Kopi Kalau Mau Kaya Raya

Wahai Manusia, Kurangi Beli Kopi Kalau Mau Kaya Raya

Read Time:2 Minute, 11 Second

Jakarta, CNBC Indonesia – Sebelum Starbucks didirikan pada tahun 1971, tidak banyak orang di dunia yang minum kopi di toko atau kafe. Barulah saat Starbucks dibentuk di Seattle, AS, tahun itu oleh Jerry Baldwin, Zev Siegl, dan Gordon Bowker, terjadi perubahan budaya minum kopi.

Jika sebelumnya minum kopi merupakan aktivitas yang dikonsumsi di rumah, setelah itu tidak lagi demikian. Minum kopi merupakan kegiatan yang wajib dilakukan di luar rumah, sambil bercengkerama dengan rekan kerja dan bekerja. Dan sejak saat itu, kedai kopi bermunculan dengan pesat di AS yang kemudian menyebar ke seluruh dunia.

Hasilnya bisa dilihat hari ini. Minum atau membeli produk kopi dari kafe sudah menjadi budaya baru yang tidak bisa dipisahkan. Ini semua dibarengi dengan maraknya pembukaan kafe yang menjual kopi.

IKLAN

GULIR UNTUK MELANJUTKAN KONTEN

Website Statista menyebutkan ada 2.331 gerai kopi di seluruh Indonesia pada tahun 2020. Semuanya telah menjadi sahabat setia para pekerja, pelajar atau mahasiswa dalam beraktivitas. Mereka rutin membeli kopi yang harganya hanya Rp 15.000.

Namun, menurut pakar keuangan David Bach kepada CNBC International, kebiasaan ini membuat orang semakin lama menjadi kaya. Membeli kopi adalah pengeluaran kecil yang sering dilakukan orang.

Masalahnya, orang sering lupa bahwa mengeluarkan uang untuk minum kopi setiap hari bisa membuahkan hasil yang besar jika digunakan dengan benar. Jika uang itu dialihkan untuk hal-hal yang produktif, maka uang itu bisa menambah pundi-pundi kekayaan kita.

Inilah yang kemudian disebut David sebagai The Latte Factor. Senada dengan David, penasihat keuangan Suze Orman di The Atlantic juga mengatakan bahwa membeli kopi di kafe merupakan usaha yang sia-sia, terutama di kalangan anak muda.

“Seduh kopi di rumah lebih murah, beli di tempat lain sama saja menghambur-hamburkan uang. Padahal, uang itu bisa menjadi sesuatu yang berguna jika tidak terbuang begitu saja,” ujar Orman.

Meski begitu, Amanda Mull di The Atlantic memberikan solusi jalan tengah untuk berbagai hal. Menurutnya, boleh saja seseorang membeli kopi di kafe asal dicatat pengeluarannya sehingga bisa dievaluasi sebagai bentuk kesadaran diri.

Dan yang terpenting, membeli kopi setiap hari harus dibarengi dengan kemampuan yang sepadan. Artinya, jangan sampai terlilit utang atau menunda kewajiban pembayaran hanya demi secangkir kopi.

Lebih lanjut, menurut penulis buku Rich Kids: How to Raise Our Children to Be Happy and Successful in Life Tom Corley, membeli kopi setiap hari tidak menjadi masalah.

Asalkan juga dibarengi dengan kebiasaan menabung dan berinvestasi, sehingga tetap berada di jalur finansial jangka panjang. Jika dua hal ini sudah terpenuhi, maka boleh saja menghabiskan uang untuk penyembuhan diri, seperti pergi berlibur, berbelanja, termasuk membeli kopi.

[Gambas:Video CNBC]

Artikel Berikutnya

Bisnis Kopi Meluas, Kompetisi Barista dan Latte Artist Memanas

(mfa/sef)

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %
OnePlus 12 details surface, to feature new main camera sensor, better telephoto Previous post OnePlus 12 details surface, to feature new main camera sensor, better telephoto
Honor 90 pops up on Amazon UK ahead of global launch Next post Honor 90 pops up on Amazon UK ahead of global launch